IN MEMORIAM, HADRIANUS DENDA SURANA
|
Bapak dan aku waktu masih kecil |
Dua puluh tahun yang lalu, hari
ini, 29 April 2004, aku tengah asyik latihan teater bersama kawan-kawan teater
Biroe di SMA PL St. Yosef, Surakarta, tatkala aku diberitahu bahwa aku sudah
dijemput untuk pulang.
Dijemput? Pulang? Aku masih
latihan teater!
Ternyata Om Agung yang
menjemput. Tumben. Langsung saja aku pamit pada kawan-kawan untuk mengikuti
jemputan itu. Pulang. Di sekolah juga ada Om Kokok. Lho, kok yang menjemput
sampai dua orang omku segala? Ada hal gawat apa ini?
Dalam perjalanan pulang, Om
Agung memboncengkanku naik motor Suzuki tua, yang kami namai Plethuk. Kami
terdiam. Tidak bicara. Aku juga tidak curiga.
Beberapa hari yang lalu aku
menjenguk bapak di rumah sakit. Bapak akan operasi. Aku diminta membawa pulang
buah anggur yang banyak.
"Gawanen mulih."
"Lha Bapak?"
"Aku wis cukup."
Kubawa pulang buah anggur itu
dan kusimpan di kulkas; untuk kami makan bersama setelah bapak pulang, pikirku.
Aku merasa, bapak takkan lama di rumah sakit. Akan sembuh dan segera pulang.
Lalu hubungan bitter-sweet kami pun akan berlanjut.
Semakin dekat ke rumah, aku
melihat bendera merah dikibarkan pada tiap gapura yang menuju arah rumah kami.
Om Agung membawa kami berputar jauh, tetapi tetap mengarah ke rumah. Ketika
Plethuk semakin mendekat ke arah rumah, dari kejauhan aku lihat tugu jam di
dekat rumah kami sudah dikibari bendera merah juga. Perasaanku menjadi tidak
nyaman.
"Dik," kata Om Agung
sembari terus mengendarai Plethuk merayap mendekat ke rumah, "sing sabar
ya... ."
"Bajingan! Bapakku mati!"
teriakku dalam hati.
Benar saja, di depan rumah
sudah ada kajang; orang-orang sibuk menyiapkan segala sesuatunya. Turun dari
motor, masuk ke rumah, kudapati tubuh bapak membujur di ruang tamu ditutupi
kain jarik. Betapa remuknya aku waktu itu. Aku yatim! Remaja yatim! Hubunganku
dengan bapak sedang tidak baik waktu itu, sebab sebagai remaja lelaki aku mulai
rebel. Bapak tidak mau aku sekolah di swasta, maunya aku sekolah negeri,
sementara aku mau studi di Jurusan Bahasa, bermain teater, di sekolah swasta
Katolik.
"Ameh dadi apa kowe? Ameh
dadi iwak?" tanya bapak.
Kesedihan itu kuluapkan dengan
memakan habis seluruh buah anggur yang diberikan bapak beberapa hari yang lalu.
Aku menyantapnya sembari menangis sejadi-jadinya.
Bapak telah tiada. Hari ini, 29
April 2024, dua puluh tahun sudah! Bapak dulu adalah guru biologi di desa, lalu
jadi kepala sekolah SMP Negeri di Jawa Tengah bagian utara.
"Dadi guru kok ndadak adoh
men tekan ndesa ta, Pak? Mulihe seminggu pisan. Mbok nang Sala wae."
"Bapak mengabdikan diri
pada bangsa dan negara, Le."
Sebagai seorang guru biologi,
bapak adalah seorang rasionalis, walau ada sisi melankolisnya juga.
"Aku guru biologi.
Gaweyanku mbeleh kodok. Saiki aku ameh dibeleh," canda bapak menjelang
operasinya.
Ya, pascaoperasi bapak memang
segera pulang dari rumah sakit seperti yang kuduga. Bahkan, bapak pulang ke
rumah Bapa! Beristirahatlah dalam damai, Bapak!
Bapak, lihatlah... kini anak
lanangmu telah menjadi iwak... sama seperti kisah lima roti dan dua ikan...
diberkati dan dibagi-bagikan kepada lima ribu orang... sama sepertimu yang
mengabdi pada bangsa dan negara nun jauh di desa Jawa Tengah sebelah utara.
Jadilah pendoa kami di surga!
Santo Hadrianus, doakanlah kami.
In memoriam, Hadrianus Denda
Surana. Aku kangen.
Singosari, 29 April 2024
Padmo Adi
Comments
Post a Comment